Penulis mahasiswa S1 Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Penulis merupakan kontributor lepas untuk majalah pendidikan online Majalah 1000 guru semenjak 2015. Penulis mengerjakan penelitian untuk tugas akhir pendidikan sarjana di Laboratorium Kimia Organik dan Austrian-Indonesian Centre (AIC) for Computational Chemistry Departemen Kimia FMIPA UGM. Kontak: alfiyahviny(at)gmail(dot)com
Ars sine scientia nihil est. / Art without knowledge is nothing.
Seni tanpa sains (pengetahuan) akan menjadi hilang maknanya. Kira-kira frase seperti itu yang mungkin dapat mewakili ungkapan dari arsitek kenamaan asal Prancis, Jean Mignot. Frase tersebut berawal dari rancang bangun sebuah katedral bergaya Gotik pada akhir abad ke-14 di Milan, Italia.
Katedral dengan gaya Gotik biasanya dibangun sedemikian rupa agar cahaya matahari dapat masuk ke dalam katedral dengan leluasa. Namun, dengan mempertimbangkan keindahan, kekokohan, dan kemegahan katedral, material berupa batu digunakan sebagai bahan bangunan. Batu pada dasarnya merupakan material yang berat. Tetapi, material tersebut digunakan untuk konstruksi sebagian besar dinding, tiang penyangga, dan atap, lengkap dengan menara-menaranya. Sehingga, bagi Mignot, seni merancang bangunan batu, dipadu dengan hukum gravitasi dan geometri adalah suatu kemutlakan untuk menghasilkan suatu bangunan indah yang dapat tetap bertahan melampaui berbagai zaman.
Cara berpikir seorang seniman, mungkin tidak jauh berbeda dari seorang ilmuwan. Cenderung bebas dan kreatif, dengan catatan teori dapat dipegang sebagai panduan dan pijakan awal. Pemikiran atau ide tentang suatu ‘riset’ hingga akhirnya tercipta karya baru yang mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Seorang kimiawan mungkin memegang kertas dan pulpen untuk menggambar senyawa, serta alih-alih memiliki suatu workshop atau garasi dengan perkakas seperti kanvas atau penggaris siku-siku, ia berada pada suatu laboratorium dengan tangan memegang gelas Erlenmeyer dan tabung reaksi.
Ilmuwan kimia yang membuat suatu nanoflower misalnya. Tentu saja nanoflower bukanlah suatu objek yang kita namakan bunga seperti mawar dan atau kemuning yang kita ketahui, tetapi sebuah struktur skala nano yang bentuknya ‘menyerupai’ bunga.
Secara teoretis, terdapat beberapa bentuk struktur nano seperti nanorod, nanofiber, nanowires, dan lain-lain. Struktur flower-like pada skala nano pernah dibuat oleh Liu dkk. (2010). Grup peneliti tersebut tentu tidak memotong-motong suatu skala makro hingga menjadi skala nano. Namun, mereka melakukan sintesis partikel nano yang membentuk struktur seperti bunga dari campuran logam nikel dan besi.
Ketika para peneliti tersebut melakukan riset, tentu tidak asal menggabung-gabungkan berbagai larutan, tidak sembarangan dalam memilih teknik sintesis nanopartikel yang digunakan. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa ada studi terlebih dahulu yang dilakukan. Ada gambaran tentang metode seperti apa saja yang dapat dilakukan serta metode apa yang kira-kira tepat untuk digunakan pada material tertentu untuk mensintesis material ukuran nano yang diinginkan.
Struktur material nanoflower hanya suatu contoh kecil dari adanya irisan antara seni dan sains. Perancangan suatu senyawa baru mungkin dapat dilakukan hanya dengan kertas dan pensil saja, atau dengan menggunakan perangkat lunak seperti ChemDraw. Namun, cara untuk mensintesis senyawa tersebut agar terbentuk di dunia nyata bisa jadi tidak semudah menggambarkannya di atas kertas. Terdapat jalur-jalur reaksi berikut kondisi reaksinya yang harus dipertimbangkan, selain ketersediaan bahan dan teknik analisis yang akan digunakan. Berikut merupakan skema usulan dari senyawa para-amino benzoic acid atau PABA yang dimodifikasi dengan adanya substitusi gugus alkil. PABA merupakan senyawa yang dikenal sebagai tabir surya. Perlu dicatat bahwa skema ini belumlah teruji. Namun, yang ingin penulis tekankan bahwa merancang suatu senyawa dapat dianggap suatu seni yang tetap tidak melupakan dasar teori sintesis yang pernah dipelajari.
Walaupun sekilas kimia merupakan bidang yang jauh dengan seni seperti yang selama ini dipahami pada umumnya. Penulis kira, kita tetap dapat melihat ‘seni’ pada kimia dalam perspektif yang sedikit berbeda. Tidak harus berupa bangunan kokoh seperti rancangan Mignot yang telah disebutkan di awal tulisan, lukisan di atas kanvas, atau pahatan halus yang terbuat dari granit keras. Seni dalam kimia dapat berupa keberhasilan dalam merancang suatu senyawa atau material dengan fungsi atau metode yang lebih baik dari sebelumnya. Dan seni tersebut membutuhkan sains sebagai landasannya.
Referensi:
Liu, L., Guan, J., Shi, W., Sun, Z. and Zhao, J., 2010, Facile Synthesis and Growth Mechanism of Flowerlike Ni-Fe Alloy Nanostructures, J. Phys. Chem. C, 114 (32), 13565–13570.