Link berita : https://news.detik.com/berita/d-3419307/ugm-anugerahi-gelar-doktor-honoris-causa-kepada-dua-peraih-nobel
Yogyakarta – Universitas Gadjah Mada (UGM) menganugerahi gelar doktor Honoris Causa (HC) kepada dua pemenang hadiah nobel (Nobel Laureates, NL). Mereka adalah Sheldon Lee Glashow peraih nobel bidang Fisika dan Richard John Roberts bidang kedokteran.
Mereka dianugerahi gelar doktor HC atas prestasi dan dedikasinya pada ilmu pengetahuan dan riset secara global, serta upayanya memberikan kesetaran layanan sosial dan kesehatan, perdamaian dunia, dan pengembangan universitas khususnya di negara berkembang.
Acara penganugerahan dilakukan di Grha Sabha Pramana (GSP) di kampus UGM, Jumat (10/2/2017). Selaku promotor Sir Richard John Robert, Prof Sofia Mubarika H, M.Med.Sc, PhD. Senat Akademik (SA) UGM memandang keduanya layak mendapatkan gelar kepada Dr Sir Richard J. Roberts untuk bidang Biologi Molekuler dan bidang Teori Partikel Elementer untuk Prof Sheldon Lee Glashow.
Ketua promotor Dr Sir Richard John Roberts adalah Prof Sofia Mubarika, didampingi Prof Mudasir, Prof Sismindari dan Prof Endang Sutariningsih. Sedangkan promotor Prof Sheldon Lee Glashow adalah Prof Abraha didampingi Prof Sunarno, Dr Mirza Satraiwan dan Dr Gea Oswah Fatah Parikesit.
Dr Sir Richard John Roberts menyampaikan pidatonya ‘Why You Should Love Bacteria’. Sedangkan Prof Sheldon Lee Glashow menyampaikan pidatona ‘How Basic Science Drives Technological Process’.
Roberts seusai acara mengungkapkan dirinya akan terus memberikan insipirasi kepada anak-anak muda atau generasi yang kegiatannya yang bermanfaat bagi masa depan dunia. “Tujuan saya bukan mencari uang tapi mengembangkan keilmuan yang bermanfaat,” katanya.
Sementara itu, Glashow yang mengaku baru pertama kali datang ke Indonesia, takjub dengan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dengan berbagai keragamannya.
“Ada banyak suku, agama, warna kulit dan bahasa tapi menjadi satu ikatan kuat satu negara. Itu seperti negara Amerika Serikat,” katanya.
Menurut Prof Sofia Mubarika, riset-riset yang dilakukan Robert mengawali revolusi pemahaman struktur dan fungsi genom. Bukan hanya di dalam virus dan bakteri tapi juga manusia. Hal ini menyebabkan pengurutan genom meningkat drastis sehingga biaya pengurutan DNA pun menurun sehingga berakibat pada ledakan jumlah gen yang dapat diprediksi secara komputasi.
“Untuk mengatasi hal ini, Roberts mengembangkan combrex, proyek pemodelan molekular secara komputasi, yang berkontribusi pada riset kanker di seluruh dunia,” katanya.
Menurut Mubarika, Roberts adalah tokoh terkemuka dalam diseminasi enzim restriksi dan penemuan-penemuan lain. Dia mengembangkan socio-entrepreneurship, New England Biolabs menjadi perusahaan pertama yang menjual enzim restriksi di dunia. Hasilnya dipakai untuk mendanai banyak riset. Namun, NEB tetap menjadi perusahaan swasta yang independen dan mendukung lembaga-lembaga akar rumput, menjaga diversitas biologi dan budaya, ekosistem, dan mendukung komunitas daerah.
Di antara 21 penerima Nobel lainnya lanjut Mubarika, Roberts termasuk punya perhatian pada perdamaian dunia melalui dialog untuk pendidikan yang berkelanjutan, riset dan pengabdian masyarakat. Di Asia Tenggara, ia juga membangun hubungan untuk memfasilitasi dan memperkuat dialog antar masyarakat yang berbudaya serta beragam agar terbangun perdamaian.
Robert lahir di Derby Inggris tahun 1943. Dia pernah belajar di University of Sheffield bidang Kimia, kemudian Ph.D tahun 1969. Riset post-doktoral diambil di Harvard University bersama James D Watson, pemenang Nobel. Roberts melakukan banyak riset setelah pindah ke New England Biolabs (NEB) tahun 1992 yang kemudian mengantarkannya mendapatkan penghargaan Nobel bersama koleganya, Phillip Sharp, dalam Fisiologi atau Kedokteran dalam rekayasa RNA dan pembelahan gen.