Link Berita : https://www.medcom.id/pendidikan/inspirasi-pendidikan/RkjBq09k-inovasi-ugm-ubah-limbah-batik-jadi-air-bening
Jakarta:Dosen sekaligus peneliti Departemen Kimia FMIPA, Universitas Gadjah mada (UGM), Roto mengembangkan alat pengelola limbah batik. Roto dan tim berhasil mengubah limbah batik menjadi air bening yang memenuhi ambang baku normal. Pengembangan yang dilakukan Roto dan tim dapat membantu perajin batik dalam mengelola limbahnya. Sebab selama ini pengeloaan limbah yang dilakukan perajin batik masih dilakukan secara manual dengan cara tradisional.
“Seperti model penyulingan, filtrasi dengan pasir dan ijuk, dan dengan diendapkan di beberapa tahapan yang belum bisa menghasilkan air bening,” kata Roto dikutip dari laman UGM, Rabu, 5 Februari 2020.
Alat ini diberi nama Electro-DE (Electrolytic-Dye Eater). Electrolytic-Dye Eater dirancang berbasis teknologi elektrokimia dengan menggunakan elektroda khusus. Roto menyebutkan, kehadiran alat ini juga menjadi solusi persoalan limbah batik. Sebab ternyata, dengan pengelolaan yang tepat, mampu mewujudkan lingkungan yang sehat.
“Pengolahan limbah batik yang dilakukan selama ini hanya menyaring padatan saja, sedangkan zat kimia dan zat warnanya tidak terproses, masuk ke tanah dan kalau ini masuk ke sumur bisa membahayakan kesehatan masyarakat,” ujar Roto. Dia menyebut, temuannya ini mampu menghancurkan limbah zat warna, khususnya limbah industri batik kecil dan menengah. Proses penghancuran limbah dilakukan secara kimia yakni melalui metode elektrolisis.
“Dari proses tersebut menghasilkan air yang mendekati ambang baku normal yaitu kadar zat warna dari 100 mg/L menjadi <0,1 mg/L,” jelasnya. Air hasil pengolahan limbah bisa digunakan kembali untuk proses batik berikutnya. Selain itu air limbah yang telah diolah aman dibuang ke saluran air karena sudah memenuhi baku mutu limbah industri yang meliputi BOD, COD, TDS, pH, kadar logam berat dan lainnya. Selain itu, alat juga dilengkapi dengan radiasi. Hal ini guna mempercepat pemecahan zat warna menjadi senyawa yang ramah lingkungan.
Alat tersebut saat ini telah digunakan oleh perajin batik di sebuah rumah produksi batik di Gulurejo, Lendah, Kulon Progo. Peluncuran alat secara perdana dilakukan pada 22 Januari 2020.
“Lalu secara langsung oleh Bupati Kulon Progo, Sutedjo dalam acara pencanangan program Desa Batik Sehat FKKMK UGM,” ungkap Roto.
Dirancang dalam bentuk portabel berukuran 40x50x60 cm, menjadikan alat ini bisa dengan mudah dipindah tempatkan. Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan mode automatik maupun manual dan hanya membutuhkan daya sebesar 500 watt. Mesin ini mampu menampung limbah cair berkapasitas 50 liter dengan konsentrasi zat warna maksimal 100 mg/L. Dalam sehari, mesin dapat beropreasi non-stop hingga 8-10 jam dengan kemampuan memproses limbah 500 liter per hari.
“Untuk satu kali proses pengolahan limbah memakan waktu sekitar satu jam hingga menghasilkan air yang mendekati batas ambang baku,” terangnya. Alat yang dikembangkan sejak 2017 silam. Alat ini juga telah didaftarkan patennya dan ditargetkan bisa segera dikomersialisasikan pada 2020.
“Kalau diproduksi secara massal satu unitnya sekitar Rp80 juta dan bisa dipakai hingga 20 tahun ke depan,” tuturnya. Dia menyampaikan, saat ini riset untuk pengembangan mesin pengolah limbah batik masih terus dilakukan. Upaya penyempurnaan dilakukan dalam beberapa sisi, salah satunya pemanfaatan panel surya untuk suplai energi. Selain bersama timnya di departemen kimia, Roto juga menggandeng departemen Fisika FMIPA UGM yang diwakili Ahmad Kusumaatmaja. Serta dibantu pula oleh peneliti dari Kochi Univers