Link berita : https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/pteejo349/peneliti-indonesia-perlu-hentikan-impor-sampah
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Belakangan, impor sampah yang berlimpah ke Indonesia menjadi sorotan. Belum usai penanganan limbah lokal, Indonesia justru diserbu sampah pastik impor dari Eropa dan Amerika.
Peneliti minat lingkungan FMIPA Universitas Gadjah Mada (UGM), Suherman, menyebutkan, masuknya sampah dari luar negeri disebabkan kebijakan Cina pada 2018. Yaitu, untuk membatasi impor sampah.
Sedangkan, Cina menjadi produsen pengolahan sampah daur ulang terbesar dunia. Cina menjadi penyerap tidak kurang 45 persen sampah dunia untuk didaur ulang.
Akibat pembatasan impor sampah itu menjadikan pengekspor sampah dari negara-negara maju mencari negara alternatif. Utamanya, sebagai tujuan pengiriman sampah domestik padat mereka.
“Akhirnya, pemilik sampah di negara maju mencari alternatif dan negara-negara berkembang menjadi tujuan dari sampah-sampah impor, termasuk Indonesia,” kata Suherman, Kamis (20/6).
Belum lagi, industri pengolahan sampah daur ulang di Indonesia tidak besar. Sistem pengelolaan sampah belum pula berjalan secara maksimal dengan angka daur ulang masih 10 persen hingga 20 persen.
Ia menilai, pembatasan impor ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia dan negara-negara lain. Sebab, sampah jadi komoditas bisnis lintas negara yang butuh regulasi ketat.
Selain itu, perlu pengawasan cermat dan selaras dengan keamanan lingkungan masa mendatang. Data BPS 2018 mencatat, Indonesia melakukan impor scrap plastik sekitar 283 ribu ton.
Suherman berpendapat, masuknya sampah impor ini menjadi beban tambahan bangsa. Sebab, Indonesia sendiri belum usai dengan pengelolaan sampah dalam negeri.
Artinya, ada tambahan urusan sampah impor, bahkan ada yang terkontaminasi B3. Karenanya, langkah penghentian impor sampah yang tidak sesuai ketentuan harus segera dilakukan.
“Sampah yang terkontaminasi B3 dan tidak bisa didaur ulang menjadi ancaman kelestarian lingkungan dan membahayakan manusia,” ujar Suherman.
Pemerhati hukum lingkungan internasional UGM, Heribertus Jaka Triyana, menilai masuknya sampah plastik dan tidak bisa didaur ulang dari luar negeri bukan kali pertama di Indonesia.
Kondisi itu telah terjadi pada 2007, 2011, 2015 dan 2016. Maka itu, Heribertus merasa, sampah plastik masuk ke Tanah Air ini merupakan kejadian berulang.
“Yang menjadi pertanyaan, kenapa ini bisa terus berulang,” kata pria yang akrab disapa Jeto tersebut.
Jeto menyampaikan, Indonesia telah memiliki hukum yang mengatur tata niaga ekspor impor, termasuk sampah. Peraturannya harus normatif, kompatibel untuk menanggulangi dan mengatur.
Meski begitu, persoalan itu terus terjadi secara berulang. Salah satunya dikarenakan masalah lama adanya gap dan perbedaan antara aturan yang tertulis dengan yang terjadi.
“Aturan sudah ada, tapi implementasi di lapangan yang tidak sesuai. Tidak perlu revisi aturan, tetapi implementasinya yang harus dilakukan sesuai ketentuan,” ujar Jeto.
Belum lagi adanya tumpang tindih kewenangan hukum dalam organ negara seperti yang terjadi antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Ia melihat ada overlapping kewenangan hukum di Kementerian Perdagangan dan KLHK. Jadi, saling melempar tanggung jawab, saling menyalahkan, dan cuci tangan. “Serta terjadi miskomunikasi secara masif di level strategis, operasional, dan praktis,” ujar Jeto.
Selain itu, Jeto mengingatkan, vakumnya antara sistem hukum nasional dengan sistem hukum negara lain (pengekspor) turut menjadi penyebab fenomena ini terus terulang.
Perbedaan hukum Indonesia dengan negara pengekspor sampah ini menimbulkan celah yang membuat sampah plastik bisa masuk. Masalah ini harus ditangani komperehensif di level startegis.
Masuknya sampah yang tidak masuk dalam daftar yang diizinkan menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan importir. Ia menyatakan, Menko Maritim dan Menteri Perdagangan harus turun tangan.
Mereka disebut harus memberikan laporan apa yang telah terjadi selama ini. Sedangkan, di level operasional, pemerintah provinsi harus melakukan pengawasan dan mengatur tata ruang di wilayahnya.
Sedangkan, di level praktis, pemkot/pemkab sebagai daerah penerima sampah harus bisa mengontrol sampah yang masuk. Harus dipastikan apakah wilayahnya diperuntukkan untuk hal tersebut atau tidak.
Bagi pemegang izin impor, harus memastikan sampah yang akan diimpor tidak mengandung limbah plastik. Lalu, dipastikan bahan yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
“Bila ada sampah yang tidak masuk daftar yang diizinkan, maka harus dilakukan pengiriman kembali ke negara asal. Kalau sampai terjadi pelanggaran, izin impor dan usaha bisa dicabut,” ujar Jeto.