Link berita : https://jogja.tribunnews.com/2015/04/21/puluhan-petani-nata-de-coco-adukan-nasibnya-ke-dprd-diy
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Puluhan anggota Asosiasi Petani Nata de coco DIY mendatangi gedung DPRD DIY, Selasa (21/4/2015). Mereka mengadukan nasibnya yang mengalami kerugian pascadigerebeknya seorang petani nata yang menggunakan ZA (Amonium Sulfat) sebagai bahan produksi nata de coco. Ketua Asosiasi Petani Nata de coco DIY, Nana Hapsari, menyatakan, di DIY saat ini terdapat sekitar 500 petani nata de coco dan hampir semua mengalami kerugaian pascapenggerebekan tersebut.
“Setelah adanya pemberitaan mengenai penggerebekan tempat pembuatan nata de coco yang menggunakan ZA, saat ini masyarakat tidak mau lagi mengonsumsinya karena dianggap berbahaya. Padahal, selama ini proses pembuatan nata memang menggunakan ZA,” ujar Nana. Dia menyanyangkan tindakan kepolisian yang melakukan penggerebekan dengan membawa sejumlah awak media kemudian mem-blowupnya, tanpa ada keterangan para ahli mengenai proses pembuatan nata de coco.
Selama ini, petani nata de coco memang menggunakan ZA sebagai salah satu media tanam. Pengetahuan para petani tersebut didapat dari pelatihan Disperindagkop, Dinas Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Proses pembuatan nata yang dilakukan oleh para petani tersebut telah berlangsung kurang lebih selama 30 tahun dan saat ini telah terbentuk pasarnya. Dikatakan Nana, dalam kurun waktu tersebut tidak pernah ada masalah, sampai ada penggerebekan pada tanggal 1 April 2015.
“Kami ini tidak memproduksi produk nata siap konsumsi. Kami hanya membuat bahan baku nata yang kami kirim ke beberapa perusahaan besar seperti Garuda Food, Kara, Inaco, Wongcoco, dan beberapa perusahaan lainya. Setelah barang yang kami kirim menjadi produk siap konsumsi ternyata lolos pengujian, tentu hal tersebut menunjukan produk yang kami produksi adalah layak konsumsi,” tambah Nana.
Dia juga menganggap, para pengusaha nata terus dicari-cari kesalahannya. Setelah mempermasalahkan penggunaan ZA dalam proses produksi, para petani juga disudutkan dengan penggunaan pupuk ZA bersubsidi yang tidak semestinya digunakan petani nata de coco. Sedang menurut Nana, di pasaran saat ini susah ditemukan pupuk ZA yang nonsubidi.
“Di Indonesia saat ini tidak ada produk ZA yang khusus digunakan untuk pembuatan nata. Jikapun ada kami harus impor dari luar negeri dengan harga 100 dolar untuk tiap kilogramnya,” ujar Nana.
Prof. Bambang Setiaji, peniliti nata de coco dari Prodi Kimia FMIPA UGM yang mendampingi para petani menyatakan pengguanaan ZA pada pembuatan nata, layaknya pemupukan pada tanaman. ZA bersama air kelapa, cuka, gula pasir direbus dan dijadikan media tanam. Setelah dituang dalam nampan dan ditunggu dingin, kemudian dimasukkan benih bakteri Acetobacter xylinum.
“Sama dengan tanaman lainnya, bakteri tersebut juga membutuhkan nutisi dan hal tersebut didapatkan dari sumber nitrogen yang dihasilkan oleh ZA. Setelah melalui proses fermentasi selama tujuh hari, bakteri tersebut tumbuh kembang menjadi serat nata de coco yang siap panen,” ujar Profesor yang sejak tahun 1979 meneliti pembuatan nata tersebut.(*)