Link berita : https://www.mongabay.co.id/2016/05/08/minyak-goreng-bekas-menumpuk-jangan-buang-manfaatkan-jadi-sumber-energi-ini/
Minyak sisa menggoreng, biasa langsung dibuang begitu saja. Tunggu dulu, ternyata minyak jelantah (minyak goreng bekas) ini bisa dimanfaatkan menjadi sumber energi.
Bila ditinjau dari komposisi kimia, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Pemakaian minyak jelantah bisa merusak kesehatan manusia, menimbulkan kanker. Selanjutnya, mengurangi kecerdasan generasi muda. Untuk itu, perlu penanganan tepat agar minyak jelantah bermanfaat dan tak menimbulkan kerugian dari aspek kesehatan manusia dan lingkungan.
Berawal dari situ, tiga mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, mengembangkan biogasoline berbahan minyak jelantah. Biogasoline ini terbukti menghidupkan mesin kendaraan bermotor.
Ketiganya, Abdul Afif Almuflih dan Khoir Eko Pamudi dari Departemen Kimia FMIPA serta Endri Geovani dari Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Dari penelitian pengembangan biogasoline minyak jelantah (Jeco gasoline) itu mereka sukses menyabet empat penghargaan internasional.
Penghargaan ini, antara lain gold medal dari World Invetion Intellectual Property Association (WIIPA) , gold medal dari Indonesian Invention and Innovation Promotion Association (INNOPA), bronze medal dari Malaysian Technology Expo (MTE) 2016. Lalu special award dari Toronto International Society of Innovation & Advanced Skillis (TISIAS) Kanada. Mereka juga menyabet beberapa penghargaan lain dari sejumlah kompetisi nasional.
Abdul Afif mengatakan, pemilihan minyak jelantah agar minyak habis pakai bisa bermanfaat. Selama ini hanya terbuang begitu saja.
Pemilihan minyak jelantah sebagai biogasoline karena mereka melihat konsumsi minyak goreng Indonesia cukup tinggi . Indonesia juga produsen sawit terbesar dunia. Jadi, peluang produksi Jeco gasoline terbuka lebar.
Mereka mencari metode tepat untuk memproses minyak jelantah menjadi biodiesel. Mereka memanfaatkan rekasi hydrocracking untuk mengonversi minyak jelantah menjadi biogasoline.
“Kami pakai tanah liat atau clay yaitu bentonit terpilar alumina, mudah didapat. Tanah liat diaktifkan dengan logam kadium sebagai katalisator,” katanya.
Cara bikin biogasoline mulai pembuatan katalis sebagai media konversi minyak jelantah. Lalu proses hydrocracking. Panaskan minyak jelantah dalam tanur listrik kemudian akan menguap mengalir melewati katalis. Setelah itu, hasilnya akan menetes menjadi campuran biogasoline dan biodiesel yang kemudian dipisahkan menggunakan metode destilasi.
“Hasilnya bisa memproduksi sekitar 42% biogasoline (bensin) dan 29% biodiesel (biosolar). Dengan begitu, satu liter minyak bisa jadi sekitar 420 ml, terdiri dari 240 ml biogasoline dan 180 ml biodiesel,”kata Afif.
Endri Geovani menambahkan, katalis mereka menggunakan tanah liat bahkan bisa pakai berulangkali. Dengan metode sederhana ini, masyarakat bisa membuat sendiri biogasoline atau biodiesel dari minyak jelantah.
“Pembuatan lebih sederhana, produksi lebih cepat, hanya melalui dua tahap, yakni katalis dan produksi dengan metode hydrocracking.”
Produksi biosolar
Pusat Studi Energi (PSE) UGM sudah memproduksi biodiesel dari jelantah dengan nama Biosolar B15. Minyak jelantah dikumpulkan dari para pedagang kali lima yang diolah menjadi biosolar. Harapannya, bisa meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar murah dan menurunkan emisi karbon dari bahan bakar fosil.
Kepala PSE UGM, Deendarlianto, mengatakan, jelantah merupakan bahan baku biodiesel untuk campuran solar. Dengan komposisi tambahan 15% biodiesel, maka produk ini bernama Biosolar B15. “Kita menambah campuran 15% solar dari jelantah yang kita olah jadi biodiesel,” katanya.
PSE baru mampu produksi 150 liter per hari dengan harga lebih rendah dari solar Pertamina. Apabila makin banyak PKL dan perusahaan armada bus dirangkul, produksi Biosolar B15 makin banyak.
Peneliti Sumber Energi Alternatif Prof Arief Budiman, mengatakan, pengolahan biosolar sangatlah sederhana bahkan bisa dibuat sendiri oleh pedagang kaki lima. Ia bisa jadi penghasilan tambahan.
Cara mengolah jelantah menjadi biodiesel, katanya, campur jelantah dengan metanol disertai katalis. Panaskan campuran suhu lebih 70 derajat celsius. Setelah lebih satu jam, campuran menghasilkan dua lapisan, biodiesel dan gliserol. “Satu liter jelantah bisa 90% biodiesel, sisanya gliserol.”
Endarlianto menambahkan, PSE sudah uji laboratorium, uji mesin dan telah diuji sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Untuk pengembangan Biosolar B15 ini, PSE bekerjasama dengan USAID, Warug spesial Sambal dan Asosiasi Pedagang Kaki Lima. Beberapa pemilik armada bus juga digandeng kerjasama seperti Trans Jogja dan Bimo Transport.
Sementara itu, dosen Jurusan Kimia, Fakultas MIPA UGM, Prof Karna Wijaya, menggagas pembuatan biodiesel dari minyak ikan. Ide muncul karena melihat di Pekalongan setiap hari menghasilkan banyak limbah minyak ikan sarden. “Kita kembangkan, ternyata banyak limbah dari ikan, yaitu minyak ikan,” kata Karna.
Perhatian pemerintah minim
Menurut dia, peran aktif pemerintah minim. Kalau energi ramah lingkungan tak mendapat perhatian serius pemerintah, katanya, akan percuma. Dia berharap, pemerintah memantau dan mendukung upaya kreatif dunia akademis dan masyarakat.